PERSOALAN Kabupaten Pasaman hari ini tidak sebatas bagaimana upaya untuk mengejar ketertinggalan dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi Sumatera Barat (Sumbat) yang lebih dahulu maju.
Ada persoalan lain, dan itu sudah tergolong klasik, yaitu bagaimana setiap proyek pembangunan yang dibiayai oleh dana pemerintah kualitasnya memenuhi standar yang ada sehingga memberi dampak lebih panjang dan lama bagi masyarakat sebagai objek sekaligus subjek pembangunan.
Tapi fakta yang ada, dan ini sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar proyek fisik yang dibiayai oleh dana pemerintah, yang outputnya berupa bangunan dengan berbagai wujud dan bentuknya, rentang waktu pemakaiannya tidak terlalu lama.
Baca juga:
Alex Wibisono: Demokrasi Kentut
|
Kalau, satu misal, bangunan milik swasta memiliki masa pemakaian selama sepuluh tahun, sementara bangunan milik pemerintah belum separuh dari itu sudah tidak bisa dipergunakan lagi sesuai peruntukannya.
Banyak contoh kasus tentang hal ini di Pasaman, seperti bangunan sekolah, sarana kesehatan, infrastruktur dengan berbagai jenis dan bentuknya, dan lainnya
Baca juga:
Anies-Gus Yahya, Cocok!
|
Hampir tiap tahun kita menyaksikan di daerah ini tentang bangunan-bangunan milik pemerintah yang sudah tidak bisa dipergunakan lagi sebelum waktunya.
Kita berkeyakinan, setiap bangunan milik pemerintah dirancang untuk pemakaian dengan jangka waktu yang panjang, yang kemudian didukung oleh anggaran yang memadai untuk itu.
Kalau kemudian fakta yang terjadi tidak seperti yang diharapkan, dipastikan ada yang tidak beres dalam prosesnya. Seyogianya hal itu dicari tahu agar tidak semakin banyak proyek fisik milik pemerintah yang merugikan kepentingan daerah dan masyarakat.
Apakah para pengelola ikut bermain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan fisik bangunan? Atau harga satuan yang di tetapkan pemerintah daerah terlalu rendah?
Atau rekanan yang bekerja asal-asalan sehingga proyek fisik yang dihasilkan tidak memenuhi standar-standar yang ada?
Ataukah para pengawas yang lalai, yang membuat kualitas bangunan yang didirikan tidak sesuai dengan bestek atau rancangan yang ada?
Apa pun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, satu hal yang pasti adalah praktek semacam itu merugikan kepentingan daerah dan masyarakat. Dan praktek semacam itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Terlalu banyak kerugian yang ditanggung oleh daerah dan masyarakat oleh karena praktek semacam itu. Kalau dari dana yang ada bisa membuat lima unit bangunan, oleh karena praktek itu berkemungkinan hanya bisa untuk membuat empat unit bangunan.
Masalahnya, dana yang seharusnya untuk membuat bangunan baru, terpaksa dialihkan untuk memperbaiki bangunan lama.
Peluang untuk berbuat curang, yang menguntungkan pribadi dan kelompok, selalu saja ada dan terbuka.
Yang kemudian pantas dipertanyakan adalah itikad baik dari pihak-pihak yang terlibat, baik dari internal maupun eksternal.
Kalau mereka masih memiliki hati nurani, diyakini tidak sampai melakukan semua cara - -yang baik atau tidak- - untuk meraup keuntungan, antara lain dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.***